“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.”
Begitulah sepenggal kalimat pertama novel Eka Kurniawan ini. Eka memang selalu punya kalimat lead yang membuat kesal, gemas, dan tentu saja menggugah rasa penasaran para pembaca. Ia telah melakukannya di karya-karyanya yang lain seperti Cantik itu Luka, Lelaki Harimau, dan O. Dan kini dia berhasil melakukannya kembali di novel terbitan Gramedia ini.
![]() |
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas |
Sebagaimana novel-novel Eka yang lain, tokoh-tokoh yang hadir dalam novel adalah orang-orang yang luar biasa “gila”. Ada realita dan fantasi yang berbenturan kuat di sepanjang cerita. Eka memang seolah menulisnya hanya untuk bermain-main belaka. Terkadang kisah-kisah yang dihadirkan membuat saya tertawa pedih. Gelap dan brutal. Namun sesungguhnya ada makna-makna yang tersebar di dalam cerita, terutama “nasihat-nasihat” dari si Burung. Misalnya mengenai kemaluan yang seringkali lebih mendasari seseorang berperilaku ketimbang otak. Adapula makna mengenai ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan.
Benar sekali bahwa Eka bercerita kisah tentang Ajo Kawir dan burungnya yang tertidur pulas sekian lama bagaikan seekor beruang kutub yang sedang berhibernasi di musim dingin yang mencekam. Eka menceritakan kisah itu dengan lengkap. Mulai dari bagaimana awal mula si Burung tertidur sampai seluk-beluk perjalanan panjang Ajo Kawir menyikapi keadaan burungnya. Kisah pada novel yang ditulis mulai dari tahun 2011-2014 ini memang tak sepuitis judulnya. Toh, “seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas” ternyata hanya sebatas tulisan yang menempel di pantat truk Ajo Kawir.
Namun demikian, bukan hanya mengenai “perburungan”, novel setebal 243 halaman ini juga menyajikan potret kehidupan kaum akar rumput, lengkap dengan kisah percintaan dan perkelahian yang tentu saja “tidak waras”. Adegan-adegan persilatan nampaknya merupakan manifestasi kesukaan Eka membaca novel-novel silat. Salah satu hal yang perlu menjadi catatan adalah pilihan diksi dan adegan yang cukup vulgar. Hal tersebut tentu saja berpotensi membuat tidak semua kalangan dapat menikmatinya.
“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang ku pelajari dari milikku selama bertahun-tahun.”
Post a Comment