[Ulasan] And the Mountains Echoed – Khaled Hosseini

Premis novel ini cukup sederhana. Dua orang kakak-beradik (Abdullah dan Pari) harus berpisah karena masalah ekonomi. Namun demikian, perpisahan mereka ternyata tak cukup sederhana. Musim dingin yang ganas dan keadaan ekonomi yang merosot tajam memaksa Saboor (Bapak Abdullah dan Pari) menjual Pari kepada keluarga Wahdati, keluarga kaya raya dari Kabul yang belum berketurunan setelah sekian lama menikah. Nabi, saudara Saboor yang bekerja sebagai pelayan keluarga Wahdati turut meyakinkan Saboor untuk mengambil keputusan tersebut. Sebuah keputusan yang pada akhirnya sangat Ia sesali.


And The Mountains Echoed

Bagian awal dan akhir novel ini adalah magnet yang dapat membuat nyaman para pembaca. Pada bagian awal, Khaled menyajikan satu kisah legenda Div, sesosok mahluk yang meminta “tumbal” seorang anak agar warga desa dapat terhindar dari bencana dan amukannya. Dengan berat hati, salah seorang bapak akhirnya menyerahkan anak bungsunya yang sangat Ia cintai kepada Div.

Beberapa waktu berlalu, penyesalan sang bapak atas keputusannya memuncak menjadi amarah. Ia berjalan untuk menyambangi tempat Div bersemayam.Di tempat Ia tuju, Ia terkejut dengan apa yang Ia lihat. Ia melihat anaknya dari dimensi yang lain. Di sebuah tempat yang mereka berdua sama sekali tak dapat berkomunikasi. Sebuah tempat yang begitu indah, anaknya begitu senang berlarian dan bermain dengan anak-anak yang lain. Tak ada rasa kesedihan dan kesusahan sama sekali.

Kisah tentang Div tersebut layaknya menjadi metafora atas kisah Saboor yang menjual Pari kepada Keluarga Wahdati. Saboor memilih memotong satu jari demi menyelamatkan satu tangan. Setelah mengambil keputusan tersebut, perekonomian keluarga Saboor memang terselamatkan. Begitu pun dengan Pari, yang kini hidup serba berkecukupan. Ia diboyong ke Paris bersama Ibu barunya, meninggalkan ingatan-ingatan tentang masa lalunya dengan sempurna. Tak ada yang tersisa, bahkan ingatan dengan orang yang pernah berperan layaknya seorang Ibu dan Bapak baginya, Abdullah.

Bagian akhir novel yang ditulis oleh pria kelahiran Kabul ini merupakan puncak pertemuan dua orang, Abdullah dan Pari, yang terpisah jarak, waktu, dan ingatan sekian luas. Tak usah diragukan lagi kemampuan storytelling dari penulis Novel The Kite Runner ini. Kisah-kisahnya selalu detail dan cerdik dalam menarik emosi para pembaca.

Banyak “Filler” dan Kurang Sesuai Deskripsi

Khaled terlihat seperti hendak mencoba sesuatu yang baru, yakni alur campuran dan sudut pandang yang bergonta-ganti. Penggunaan alur dan sudut pandang seperti ini cukup menyulitkan, khususnya bagi pembaca dengan kemampuan terbatas seperti saya. Pembaca seperti memungut dan menyusun puzzle yang tercecer di masing-masing bagian cerita ini untuk memahami gambaran besar yang hendak disampaikan oleh Khaled.

Membaca deskripsi buku di bagian belakang cover, saya mendapati novel ini berkisah mengenai Abdullah, seorang kakak yang sangat mencintai adiknya, Pari. Namun demikian, novel ini justru lebih banyak berfokus pada Pari terutama di bagian tengah. Mungkin interprestasi saya keliru. Khaled membahas kehidupan Pari dengan detail, terutama setelah Ia diboyong ke Paris.

Sementara itu, Abdullah hanya mendapat tempat di awal dan akhir cerita. Selain itu, novel ini melibatkan terlalu banyak tokoh dan kisah yang nampaknya hanya berfungsi sebagai filler karena tak berhubungan dengan kisah utama. Hal tersebut justru membuat kisah kisah Pari, bahkan Abdullah semakin kabur.

“I learned that the world didn’t see the inside of you, that it didn’t care a whit about hopes and dreams, and sorrows, that lay masked by skin and bone. It was as simple, as absurd, and as cruel as that.”

Post a Comment

Previous Post Next Post